House of Evergun

Haji Kodja Street Depok City. Contacts: 085-210-221-200; 021-972-01110

Selasa, 15 Desember 2009

Wajib Pajak Badan

Wajib Pajak

Wajib Pajak (WP) adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

Pengusaha

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

Kewajiban Wajib Pajak

Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.

· Pendaftaran

Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi. Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP, Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)

· Pembayaran dan Pelaporan

Setelah melakukan pendaftaran dan mendapatkan NPWP, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak, yang selanjutnya melaporkan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT). Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT masa dan SPT tahunan adalah sebagai berikut : Klik di sini untuk lebih detil

Apabila dalam menghitung dan membayar pajak tersebut ditemukan ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal berdasarkan hasil pemeriksaan yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan menebitkan Surat Ketetapan Pajak (skp) kepada Wajib Pajak tersebut.

Hak Wajib Pajak

Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Berkaitan dengan pembayaran pajak terutang, Wajib Pajak berhak memperoleh :

1. Pengangsuran pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu untuk membayar pajak sekaligus.

2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya.

3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak.

4. Pembebasan Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan.

5. Pajak ditanggung pemerintah, Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah

6. Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi

7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam) bulan.

8. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.

9. Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga,

10. Banding, Apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

Penyidikan Tindak Pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Mau Baca Lengkapnya?..

Wajib Pajak Orang Pribadi

· Wajib Pajak

Wajib Pajak (WP) adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

· Pengusaha

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

· Kewajiban Wajib Pajak

Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.

- Pendaftaran

Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah :

1. Orang Pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas;

2. Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya;

3. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;

4. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi. Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP, Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)

- Pembayaran dan Pelaporan

Setelah melakukan pendaftaran dan mendapatkan NPWP, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak, yang selanjutnya melaporkan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT). Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT masa dan SPT tahunan adalah sebagai berikut : klik di sini

Apabila dalam menghitung dan membayar pajak tersebut ditemukan ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal berdasarkan hasil pemeriksaan yang tidak dilaporkan oleh WP, Direktorat Jenderal Pajak akan menebitkan Surat Ketetapan Pajak (skp) kepada WP tersebut.

· Hak Wajib Pajak

Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Berkaitan dengan pembayaran pajak terutang, Wajib Pajak berhak memperoleh :

1. Pengangsuran pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu untuk membayar pajak sekaligus.

2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya.

3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak.

4. Pembebasan Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan.

5. Pajak ditanggung pemerintah Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah

6. Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi

7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Paja berhak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam) bulan.

8. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.

9. Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga,

10. Banding, Apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.

Penyidikan Tindak Pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Mau Baca Lengkapnya?..

Ditjen Pajak Mulai Terapkan Paksa Badan

Direktorat Jenderal Pajak mulai menerapkan paksa badan (gijzeling) dengan menitipkan wajib pajak nakal ke lembaga pemasyarakatan, seperti yang telah dilakukan terhadap eksekutif PT SDS, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri perhiasan di Surabaya.Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengatakan selama 2009 baru pertama kali Ditjen Pajak mengambil langkah paksa badan atau penyanderaan terhadap wajib pajak (WP) yakni pengusaha PT SDS di Surabaya. Menurut dia, perusahaan perhiasan ini menunggak PPh badan usaha sejak 9 tahun lalu dengan total utang sedikitnya mencapai Rp4,l miliar, tetapi sisa yang belum dibayar Rp3,3 miliar.Tindakan penyanderaan dilakukan pada 8 Desember dan WP dititipkan ke LP Porong. Tjiptardjo menilai upaya penyanderaan ini efektif."Semalam menginap di LP, siang tadi [kemarin] yang bersangkutan telah kooperatif dan membayar tunggakannya," ujar Dirjen Pajak pada acara kunjungan kerja ke Kanwil DJP Jawa Timur I di Surabaya, kemarin.

Untuk itu, Ditjen Pajak akan semakin konsisten menerapkan sanksi paksa badan terhadap penunggak pajak yang tidak kooperatif. Pasalnya, hingga 8 Desember 2009, total piutang pajak masih cukup besar yakni sekitar Rp51 triliun. Tunggakan tersebut berasal dari badan usaha, pribadi dan PBB.
Akan tetapi, langkah tersebut akan dilakukan setelah pemerintah melalui berbagai tahapan mulai dari proses penagihan, pemberian teguran, pencekalan, pemblokiran rekening, penyidikan dan pelimpahan perkara ke Kejaksaan.

"Jika belum juga berhasil dan WP tidak kooperatif maka akan diterapkan paksa badan."Pada dasarnya, lanjut Tjiptardjo, petugas pajak tidak menginginkan adanya kekerasan. Bahkan pihaknya siap memberikan kesempatan kepada para penunggak untuk mengangsur utang.Namun, jumlah penunggak pajak yang sudah masuk dalam tahap penyidikan secara nasional terus naik dan kini sudah mencapai 40-an.Angka itu terus naik dibandingkan dengan 2007, di mana kasus tunggakan pajak yang akhirnya sempat divonis di pengadilan mencapai 27 penunggak. Tahun berikutnya data tersebut naik menjadi 34 penunggak.

Repro from www.pajak.go.id





Mau Baca Lengkapnya?..

UEA siap investasi US$5 miliar di di Kalimantan

Repro from Business Indonesia/ Irsad Sati



JAKARTA (bisnis.com): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan komitmen investasi dari Kerajaan Uni Emirat Arab senilai US$5 miliar di bidang kelistrikan, proyek jalan kereta api, dan pengolahan air minum di Kalimantan.

Kepala Negara bertemu dan melakukan pembicaraan sekitar 30 menit dengan Putra Mahkota UEA Sheik Saud Ras Al-Khaiman di sela-sela masa jeda transit penerbangannya di Dubai dengan tujuan ke Belgia, Minggu.

"Presiden bertemu putra mahkota Sheikh Saud Ras Al-Khaiman. Pertemuan sekitar 30 menit ini membahas rencana investasi Sheik Saud di sektor pembangkit listrik, pembangunan jalan kereta api, dan pengolahan almunium di Kalimantan," ungkap laporan yang dimuat di laman presidensby.info, hari ini.

Bisnis.com mencoba melakukan konfirmasi soal itu kepada Dino patti Djalal, Jurubicara Kepresidenan bidang Hubungan Luar Negeri, namun belum mendapatkan jawaban hingga berita ini diturunkan.

Dalam rombongan Presiden Yudhoyono ikut sejumlah gubernur, termasuk Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang bersama Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf, dan Gubernur Papua Barnabas Suebu.

Yudhoyono, ungkap situs itu, dalam briefing singkatnya di atas pesawat, seusai lepas landas dari bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Presiden menjelaskan bahwa Sheik Saud siap menanamkan investasi senilai US$5 miliar untuk sejumlah proyek di Kalimantan tersebut. Itulah sebabnya dalam pertemuan dengan putera mahkota UEA ini, juga kunjungan kerja ke Eropa, Presiden mengajak Gubernur Kaltim, Kalteng, dan Kalbar. (tw)



Mau Baca Lengkapnya?..

Pertemuan pengusaha muda Asean-China dibuka

Reprodued from Business Indonesia/ Setyardi Widodo



NANNING (Bisnis.com): Pertemuan pengusaha muda Asean dan China atau Asean China Young Entrepreneurs Association Forum dibuka hari ini di Nanning, China. Kegiatan ini dijadwalkan berlangsung selama dua hari.

Sebelum pembukaan, para pemimpin delegasi mengadakan pertemuan dengan Gubernur Provinsi Quang Xi Ma Biao serta Wakil Gubernur La Yangzhen. Nanning adalah bagian dari Provinsi Quang Xi.
Delegasi Indonesia terdiri atas 36 orang anggota dan pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Selain itu hadir pula beberapa pejabat dari Departemen Luar Negeri dan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

David Tampubolon, Wakil Ketua Panitia Hipmi Goes To China, mengatakan acara ini merupakan pertemuan formal pertama antara organisasi pengusaha muda negara-negara Asean dengan asosiasi pengusaha muda China.

Pada tahun-tahun yang lalu, katanya, belum ada forum formal karena beberapa negara yang belum memiliki organisasi pengusaha muda. "Pertemuan kali ini antara lain untuk memilih ketua dan menentukan di mana sekretariat akan berada," paparnya.

Hipmi, kata David, berharap ketua umumnya terpilih sebagai ketua perhimpunan pengusaha muda Asean-China.

Selain pemilihan ketua dan sekretariat, akan diadakan sejumlah pertemuan antardelegasi untuk mencari kecocokan bisnis (bussiness match).� "Dari China kami berharap ada funding di bidang infrastruktur, perkebunan serta pertambangan. Sebaliknya, kami juga mencari peluang yang dapat digarap," ujarnya.(er)





Mau Baca Lengkapnya?..

Activity-based costing

From Wikipedia, the free encyclopedia

Activity-based costing (ABC) is a costing model that identifies activities in an organization and assigns the cost of each activity resource to all products and services according to the actual consumption by each: it assigns more indirect costs (overhead) into direct costs.

In this way an organization can precisely estimate the cost of its individual products and services for the purposes of identifying and eliminating those which are unprofitable and lowering the prices of those which are overpriced.

In a business organization, the ABC methodology assigns an organization's resource costs through activities to the products and services provided to its customers. It is generally used as a tool for understanding product and customer cost and profitability. As such, ABC has predominantly been used to support strategic decisions such as pricing, outsourcing and identification and measurement of process improvement initiatives.

Historical development

Traditionally cost accountants had arbitrarily added a broad percentage of expenses into the direct costs to allow for the indirect costs.

However as the percentages of indirect or overhead costs had risen, this technique became increasingly inaccurate because the indirect costs were not caused equally by all the products. For example, one product might take more time in one expensive machine than another product, but since the amount of direct labor and materials might be the same, the additional cost for the use of the machine would not be recognised when the same broad 'on-cost' percentage is added to all products. Consequently, when multiple products share common costs, there is a danger of one product subsidizing another.

The concepts of ABC were developed in the manufacturing sector of the United States during the 1970s and 1980s. During this time, the Consortium for Advanced Management-International, now known simply as CAM-I, provided a formative role for studying and formalizing the principles that have become more formally known as Activity-Based Costing.[1]

Robin Cooper and Robert S. Kaplan, proponent of the Balanced Scorecard, brought notice to these concepts in a number of articles published in Harvard Business Review beginning in 1988. Cooper and Kaplan described ABC as an approach to solve the problems of traditional cost management systems. These traditional costing systems are often unable to determine accurately the actual costs of production and of the costs of related services. Consequently managers were making decisions based on inaccurate data especially where there are multiple products.

Instead of using broad arbitrary percentages to allocate costs, ABC seeks to identify cause and effect relationships to objectively assign costs. Once costs of the activities have been identified, the cost of each activity is attributed to each product to the extent that the product uses the activity. In this way ABC often identifies areas of high overhead costs per unit and so directs attention to finding ways to reduce the costs or to charge more for costly products.

Activity-based costing was first clearly defined in 1987 by Robert S. Kaplan and W. Bruns as a chapter in their book Accounting and Management: A Field Study Perspective.[2] They initially focused on manufacturing industry where increasing technology and productivity improvements have reduced the relative proportion of the direct costs of labor and materials, but have increased relative proportion of indirect costs. For example, increased automation has reduced labor, which is a direct cost, but has increased depreciation, which is an indirect cost.

Like manufacturing industries, financial institutions also have diverse products and customers which can cause cross-product cross-customer subsidies. Since personnel expenses represent the largest single component of non-interest expense in financial institutions, these costs must also be attributed more accurately to products and customers. Activity based costing, even though originally developed for manufacturing, may even be a more useful tool for doing this.

Uses

* It helps to identify inefficient product, department and activity
* It helps to allocate more resources on profitable product, department and activity
* It helps to control the cost at individual level and on departmental level
* It helps to find unnecessary costs

Limitations

Even in activity-based costing, some overhead costs are difficult to assign to products and customers, such as the chief executive's salary. These costs are termed 'business sustaining' and are not assigned to products and customers because there is no meaningful method. This lump of unallocated overhead costs must nevertheless be met by contributions from each of the products, but it is not as large as the overhead costs before ABC is employed.

Although some may argue that costs untraceable to activities should be "arbitrarily allocated" to products, it is important to realize that the only purpose of ABC is to provide information to management. Therefore, there is no reason to assign any cost in an arbitrary manner.

Mau Baca Lengkapnya?..

Cost accounting- A Brief Look

From Wikipedia, the free encyclopedia


In management accounting, cost accounting establishes budget and actual cost of operations, processes, departments or product and the analysis of variances, profitability or social use of funds. Managers use cost accounting to support decision-making to cut a company's costs and improve profitability. As a form of management accounting, cost accounting need not follow standards such as GAAP, because its primary use is for internal managers, rather than outside users, and what to compute is instead decided pragmatically.

Costs are measured in units of nominal currency by convention. Cost accounting can be viewed as translating the Supply Chain (the series of events in the production process that, in concert, result in a product) into financial values.

There are various managerial accounting approaches:

* Standardized or Standard Cost Accounting
* Lean accounting
* Activity-based Costing
* Resource Consumption Accounting
* Throughput Accounting
* Marginal Costing / Cost-Volume-Profit Analysis


Classical Cost Elements are:

1. Raw Materials
2. Labor
3. Indirect Expenses / Overhead

Cost accounting has long been used to help managers understand the costs of running a business. Modern cost accounting originated during the industrial revolution, when the complexities of running a large scale business led to the development of systems for recording and tracking costs to help business owners and managers make decisions.

In the early industrial age, most of the costs incurred by a business were what modern accountants call "variable costs" because they varied directly with the amount of production. Money was spent on labor, raw materials, power to run a factory, etc. in direct proportion to production. Managers could simply total the variable costs for a product and use this as a rough guide for decision-making processes.

Some costs tend to remain the same even during busy periods, unlike variable costs which rise and fall with volume of work. Over time, the importance of these "fixed costs" has become more important to managers. Examples of fixed costs include the depreciation of plant and equipment, and the cost of departments such as maintenance, tooling, production control, purchasing, quality control, storage and handling, plant supervision and engineering. In the early twentieth century, these costs were of little importance to most businesses. However, in the twenty-first century, these costs are often more important than the variable cost of a product, and allocating them to a broad range of products can lead to bad decision making. Managers must understand fixed costs in order to make decisions about products and pricing.

For example: A company produced railway coaches and had only one product. To make each coach, the company needed to purchase $60 of raw materials and components, and pay 6 laborers $40 each. Therefore, total variable cost for each coach was $300. Knowing that making a coach required spending $300, managers knew they couldn't sell below that price without losing money on each coach. Any price above $300 became a contribution to the fixed costs of the company. If the fixed costs were, say, $1000 per month for rent, insurance and owner's salary, the company could therefore sell 5 coaches per month for a total of $3000 (priced at $600 each), or 10 coaches for a total of $4500 (priced at $450 each), and make a profit of $500 in both cases.
[edit] Elements of Cost

* 1. Material
o A. Direct Material
o B. indirect Material
* 2. Labour
o A. Direct Labour
o B. Indirect Labour
* 3. Expenses
o A. Direct Expenses
o B. Indirect Expenses

All (B) elements are together called Overheads. They are grouped further based on their functions as,

* 1. Production or Works Overheads
* 2. Administration Overheads
* 3. Selling overheads
* 4. Distribution Overheads

Classification of Costs

Classification of cost means, the grouping of costs according to their common characteristics. The important ways of classification of costs are :

* (1) By nature or element: materials, labour, expenses
* (2) By functions: production, selling, distribution, administration, R&D, development,
* (3) As direct and indirect
* (4) By variability : fixed, variable, semi-variable
* (5) By controllability : controllable, uncontrollable
* (6) By normality : normal, abnormal

Standard Cost Accounting

In modern cost accounting, the concept of recording historical costs was taken further, by allocating the company's fixed costs over a given period of time to the items produced during that period, and recording the result as the total cost of production. This allowed the full cost of products that were not sold in the period they were produced to be recorded in inventory using a variety of complex accounting methods, which was consistent with the principles of GAAP (Generally Accepted Accounting Principles). It also essentially enabled managers to ignore the fixed costs, and look at the results of each period in relation to the "standard cost" for any given product.

For example: if the railway coach company normally produced 40 coaches per month, and the fixed costs were still $1000/month, then each coach could be said to incur an overhead of $25 ($1000/40). Adding this to the variable costs of $300 per coach produced a full cost of $325 per coach.

This method tended to slightly distort the resulting unit cost, but in mass-production industries that made one product line, and where the fixed costs were relatively low, the distortion was very minor.

For example: if the railway coach company made 100 coaches one month, then the unit cost would become $310 per coach ($300 + ($1000/100)). If the next month the company made 50 coaches, then the unit cost = $320 per coach ($300 + ($1000/50)), a relatively minor difference.

An important part of standard cost accounting is a variance analysis which breaks down the variation between actual cost and standard costs into various components (volume variation, material cost variation, labor cost variation, etc.) so managers can understand why costs were different from what was planned and take appropriate action to correct the situation.

Mau Baca Lengkapnya?..

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

This blog designed for they who want to generate all info about accounting and finance especially designed for small and medium business enterprises.

Here, insyaAlloh, You will find articles, either made by my self or downloaded from internet, or from other trusted sources that talk about accounting, finance and tax.

Thank You for visiting and get enjoyed


Best regards,

Guntur T Haryaji

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP